Mencegah Diskriminasi ODHA: Saat Media Berperan Sebagai Agen Perubahan
BIDIKKATA.COM, OPINI – HIV/AIDS masih menjadi salah satu isu kesehatan global yang penuh dengan stigma dan diskriminasi. Di Indonesia, meskipun berbagai kampanye edukasi telah dilakukan, masih banyak masyarakat yang memiliki pemahaman keliru tentang cara penularan dan dampak HIV/AIDS. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kondisi ini adalah pemberitaan media yang tidak selalu akurat atau bahkan cenderung memperkuat stigma. Oleh karena itu, media memiliki tanggung jawab besar dalam menyajikan informasi yang tepat, mendidik, serta mendorong penerimaan sosial terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Kode Etik Jurnalistik menuntut jurnalis untuk memberitakan informasi berdasarkan fakta, tidak berpihak, dan tidak mendiskriminasi. Namun, dalam praktiknya, masih sering ditemukan penggunaan istilah yang keliru atau narasi yang cenderung menyudutkan ODHA. Misalnya, masih ada media yang menggunakan istilah seperti “pengidap penyakit mematikan” atau “penderita HIV/AIDS”, yang dapat memperkuat ketakutan dan stigma. Padahal, HIV bukanlah hukuman mati. Dengan pengobatan antiretroviral (ARV) yang tersedia, ODHA dapat hidup sehat dan produktif seperti orang lain.
Salah satu langkah konkret dalam meningkatkan kualitas pemberitaan terkait HIV/AIDS adalah melalui pelatihan bagi jurnalis. Baru-baru ini, Yayasan Pendampingan Kesehatan Terpadu (YPKT) dengan dukungan dari AIDS Healthcare Foundation (AHF) mengadakan pelatihan jurnalistik bertema HIV/AIDS di Auditorium RS dr Hasri Ainun Habibie. Pelatihan ini bertujuan membekali jurnalis dengan pemahaman yang benar tentang HIV/AIDS, termasuk bagaimana memberitakan isu ini dengan perspektif yang tidak diskriminatif.
Ketua YPKT, Abdul Risal, dalam kegiatan tersebut menekankan bahwa masih banyak informasi keliru yang beredar di masyarakat, terutama terkait cara penularan HIV. Ia mengajak jurnalis untuk menjadi agen perubahan dalam menyebarluaskan informasi yang benar, sehingga dapat mengurangi stigma terhadap ODHA. Ini sejalan dengan prinsip jurnalisme yang tidak hanya bertugas melaporkan fakta, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial dalam membentuk opini publik yang sehat.
Dalam perspektif media, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Pertama, penggunaan bahasa yang lebih manusiawi dan tidak menghakimi dalam pemberitaan. Misalnya, mengganti istilah “penderita HIV/AIDS” dengan “Orang dengan HIV/AIDS” (ODHA), yang lebih netral dan tidak menimbulkan kesan negatif. Kedua, media perlu lebih banyak mengangkat cerita inspiratif tentang ODHA yang mampu hidup sehat dan berkarya, sehingga masyarakat tidak lagi melihat HIV sebagai sesuatu yang menakutkan atau tabu.
Ketiga, jurnalis harus memastikan bahwa berita yang disajikan berbasis fakta dan tidak hanya mengandalkan sensasi. Banyak kasus di mana media hanya berfokus pada aspek negatif dari HIV/AIDS, seperti kaitannya dengan narkoba atau seks bebas, tanpa memberikan edukasi yang cukup tentang pencegahan dan pengobatan. Hal ini justru memperkuat stigma dan membuat masyarakat semakin takut untuk mencari informasi yang benar atau melakukan tes HIV.
Keempat, media dapat berperan aktif dalam kampanye edukasi, bekerja sama dengan organisasi kesehatan, pemerintah, maupun komunitas ODHA. Pelatihan seperti yang dilakukan oleh YPKT dan AHF adalah contoh nyata bagaimana media bisa dibekali dengan wawasan yang benar sehingga dapat menyebarkan informasi yang lebih bertanggung jawab.
Pada akhirnya, peran media dalam pemberitaan HIV/AIDS bukan hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk cara pandang masyarakat. Dengan pemberitaan yang akurat, adil, dan tidak diskriminatif, media dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi ODHA. Saat media mulai mengubah cara mereka memberitakan HIV/AIDS, maka perlahan stigma dan diskriminasi akan berkurang, dan masyarakat akan semakin terbuka dalam menerima informasi yang benar.
Melalui pendekatan yang lebih humanis dan edukatif, media dapat menjadi garda terdepan dalam mengubah stigma menjadi empati, ketakutan menjadi pemahaman, dan diskriminasi menjadi dukungan. Sebab, di era informasi ini, cara kita berbicara tentang HIV/AIDS dapat menentukan masa depan para ODHA—apakah mereka akan terus dikucilkan, atau justru diterima sebagai bagian dari masyarakat yang berhak hidup dengan martabat yang sama.